Katakanlah “Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat”. (QS. Ar-Ra’d: 30). Ibadallah, Allah menyebutkan tawakal sebagai sifat dari hambanya yang beriman dan juga para walinya. Sebagaimana dalam firman-Nya,
TafsirRingkas Kementrian Agama RI / Surat Al-Mu’minun Ayat 117. 117. Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain selain Allah, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang kebenaran penyembahan itu, maka perhitungannya, yaitu balasannya, hanya pada tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.
Katakanlah Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS.18:109) TIADA TUHAN SELAIN ALLAH YANG MAHA KARIM DAN MAHA LEMBUT. SEGALA PUJI BAGINYA, SEJAK AKU BELUM
Fast Money. tiada tuhan selain allah Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Merealisasikan la ilaha illallah adalah suatu hal yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’. Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, Orang-orang Yahudi mengatakan Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-,karena itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, Benarkah kalian merasakan hal itu?. Mereka menjawab, Benar’. Beliau pun bersabda, Itulah kejelasan iman HR. Muslim. Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih.” al-Qaul al-Mufid ala Kitab at-Tauhid [1/38] cet. Makt. al-’Ilmu Apa yang dimaksud dengan merealisasikan la ilaha illallah? Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20 cet. Makt. al-’Ilmu Benarkah sesulit itu merealisasikan la ilaha illallah? Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikhnya tanpa menyebutkan jumlah sahabat yang ditemui, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits.Ibrahim at-Taimi -seorang fuqaha’ dan ahli ibadah di kalangan tabi’in- berkata,rahimahullah“Tidaklah aku hadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir termasuk orang yang didustakan/tidak dipercayai nasehatnya.” HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh beliau dalam Tarikhnya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar. al-Hadits.Ibnu Hajar rahimahullah berkata -menjelaskan maksud ucapan tersebut,“Maksudnya; aku merasa takut orang akan mendustakan diriku karena melihat amalanku yang menyelisihi ucapanku, sehingga dia akan berkata, Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang menyelisihi ucapanmu’. Beliau mengucapkan hal itu karena beliau sering memberikan nasehat/wejangan kepada orang-orang -sementara beliau mengkhawatirkan amalannya, pent-…” Fath al-Bari [1/136] Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” al-Fawa’id, hal. 34 cet. Dar al-’Aqidah Lalu bagaimana langkah mewujudkannya? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Tauhid la ilaha illallah itu tidak akan terwujud kecuali dengan tiga perkara Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.’ QS. Muhammad 19. Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir yang artinya, Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.’ QS. Shaad 5. Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-. Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?’ QS. ash-Shaffat 35-36…” al-Qaul al-Mufid ala Kitab at-Tauhid [1/55] cet. Makt. al-’Ilmu Ilmu tentang la ilaha illallah Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata, “… La ilaha illallah tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya kecuali apabila dia telah mewujudkan syarat-syaratnya yang jumlahnya ada delapan Ilmu -tentang makna la ilaha illallah, pent- yang menepis kebodohan Keyakinan yang menepis adanya keragu-raguan Keikhlasan yang menepis kemusyrikan Kejujuran yang menepis dusta/kepura-puraan Kecintaan yang menepis kebencian Ketundukan yang menepis sikap meninggalkan Sikap menerima yang menepis penolakan Mengingkari segala sesembahan selain Allah…” at-Tauhid al-Muyassar, hal. 15 Makna la ilaha illallah Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata, “…Maknanya Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Makna lain yang keliru adalah [1] Tidak ada sesembahan selain Allah. Ini keliru, sebab maknakonsekuensinya segala yang disembah benar atau salah adalah Allah. [2] Tidak ada pencipta selain Allah. Ini memang sebagian dari maknanya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan; sebab seandainya itu merupakan makna la ilaha illallah niscaya tidak akan terjadi persengketaan antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan kaumnya, sebab mereka mengakui hal ini -yaitu keesaan Allah dalam hal mencipta, dsb. Pent-. [3] Tidak ada penetapan hukum selain oleh Allah. Ini juga sebagian saja dari maknanya, akan tetapi hal ini belum mencukupi dan bukan maksud utamanya. Sebab seandainya Allah dieesakan dalam perkara hukum namun tetap ada selain-Nya yang disembah/diibadahi -oleh seorang hamba- maka tauhid belum dianggap terwujud.” at-Tauhid al-Muyassar, hal. 13 Apa konsekuensi la ilaha illallah? Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… konsekuensinya adalah meninggalkan peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah, hal ini ditunjukkan oleh ungkapan penolakan yaitu dalam ucapan kita la ilaha’, dan beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini ditunjukkan oleh penetapan yaitu dalam ucapan kita illallah’…” at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 50 Apa itu ibadah? Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata, “Pengertiannya Secara bahasa artinya perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut syari’at adalah sebuah ungkapan yang mewakili segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang tersembunyi/batin maupun yang tampak/lahir.” at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53 Apa saja pilar-pilar ibadah? Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata, “Pilar-pilar ibadah Kecintaan mahabbah Rasa takut khauf Harapan raja’.” at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53 Ada apa antara cinta dengan ibadah? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” al-Qaul al-Mufid ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Makt. al-’Ilmu Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “… Tidak akan sempurna tauhid seorang hamba sampai sempurna kecintaan hamba tersebut kepada Rabbnya dan kecintaan kepada-Nya harus lebih didahulukan di atas semua perkara yang dicintainya dan mengalahkan itu semua serta kecintaan kepada Allah itulah yang menghakimi semua kecintaan yang lain sehingga semua yang dicintai oleh hamba tersebut senantiasa mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya.” al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95 Menggapai manisnya iman dengan cinta Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa ketiganya terdapat dalam dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. [2] Tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah. [3] Dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” HR. Bukhari dan Muslim Kamu ini memang aneh! Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” al-Fawa’id, hal. 45 Mana bukti cintamu? Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah Muhammad Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Ali Imran 31. Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil alamin. tiada tuhan selain allah,hanya kepada Mu lah aku memohon dan hanya kepada Mu lah aku bisa bermanfaat. Artikel terkait rukun islam niat islam,iman dan ihsan akhlaq zuhud aqidah syariat amar ma’ruf taqwa
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID a5OQ9BSx734YRUOcgQCjbixqAYAO4BOF9tzdOdDLdv3qObD6pGsL_A==
Ada tiga bukti. Kami ingin menyajikannya dengan bahasa yang mudah, karena untuk memahami kenapa makna ini bisa salah besar memerlukan dasar-dasar bahasa Arab. Kaum muslimin khususnya di Indonesia, hampir sebagian besar belum memiliki dasar-dasar bahasa Arab yang cukup. Masalah ini sangat penting yaitu syahadat, tabir pemisah antara Islam dan kekafiran. Terjemah ini yaitu “Tidak ada tuhan selain Allah” sudah tersebar luas, di televisi [saat adzan], di papan jalan-jalan, di buku-buku kurikulum pendidikan agama islam dari TK-perguruan tinggi, terjemah ini tidak tepat. Bukti pertama Ini bagi mereka yang belum mempelajari bahasa arab. Perlu diketahui, jika mengartikan syahadat dengan “tiada tuhan selain Allah” yaitu khususnya makna rububiyah bahwa, “Tiada tuhan yang pencipta alam semesta, memberi rezeki dan mengatur alam semesta selain Allah” Maka Abu Lahab, Abu Jahal dan orang-orang kafir Quraisy juga mengakui hal tersebut. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berusaha mendakwahi dan kemudian memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari menyembah Allah?” [QS. Az-Zukhruf 87] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata, أي ولئن سألت المشركين عن توحيد الربوبية، ومن هو الخالق، لأقروا أنه الله وحده لا شريك له. “Yaitu, jika engkau [Muhammad] bertanya kepada orang-orang musyrik tentang tauhid rububiyah dan siapakah pencipta, maka sungguh mereka akan mengakui bahwasanya dialah Allah semata dan tiada sekutu baginya.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 737, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Cet. Ke-1,1424 H] Silahkan lihat juga surat Yunus ayat ke-31 dan Al-’Ankabut ayat ke-63. Mereka orang kafir Quraisy menyembah berhala-berhala mereka, bukanlah bermaksud menyembah mereka sebagai tuhan yang sesungguhnya, tetapi anggapan mereka bahwa 1. Berhala-berhala tersebut sebagai perantara menyampaikan doa mereka kepada Allah dan bisa mendekatkan diri/taqarrub kepada Allah Perlu diketahui bahwa ada sebagian berhala di antara berhala-berhala mereka dulunya adalah orang shalih, kemudian dibuatlah patung/lambang orang-orang yang shalih tersebut. Contohnya adalah Latta, yaitu orang shalih yang dahulunya menggiling tepung dan memberi makan orang yang haji ke Mekkah. Awalnya patungnya dibuat untuk mengenangnya, tetapi datang generasi seterusnya yang kurang ilmu akhirnya jadilah patung Latta disembah sampai zaman Quraisy. Kemudian orang-orang kafir Quraisy membuat kias yang salah. Jika kita ingin dekat dan bertemu dengan raja, maka orang yang papa harus ada wasilah/channel berupa menteri atau orang yang dekat dengan raja. Sedangkan Allah tidak butuh perantara dan Maha Mendengar doa. Inilah perkataan mereka, مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. [Az-Zumar 3] 2. Berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat kepada mereka kelak. Mereka berharap orang-orang shalih, malaikat dan para Nabi yang dilambangkan dengan patung berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat kelak, karena mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Mereka orang-orang kafir Quraisy berkata, وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. [Yunus 18] Inilah yang manjadi kaidah kedua dalam kitab tauhid Qowa’idul Arba’ syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, القاعدة الثانية أنهم يقولون ما دعوناهم وتوجهنا إليهم إلا لطلب القربة والشفاعة. “Kaidah kedua bahwasanya mereka [orang-orang kafir Quraisy] berkata, “tidaklah kami berdoa dan menghadapkannya kepada mereka [berhala-berhala] melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meminta syafaat.” Jika orang yang dilaknat di Al-Quran dan dibaca sampai kiamat yaitu Abu Lahab, dia tahu makna syahadat la ilaha illallah, sehingga abu Lahab menolak dan mengingkarinya. Maka, bagaimana dengan seorang yang mengaku-ngaku islam tetapi tidak tahu makna syahadat yang benar? Kami sangat berharap dan berdoa agar kaum muslimin mengetahui hal ini dan aqidah yang benar menyebar ke seluruh kaum muslimin. Kami rasa satu bukti diatas sudah cukup untuk membuktikan sesuai dengan judul tulisan diatas. Bukti kedua Memahami makna huruf nafi’ [لا] “laa” yaitu [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” Ini bagi mereka yang sudah mempelajari bahasa Arab, tetapi bagi yang belumpun kami berusaha menggunakan bahasa yang mudah. Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab ada huruf nafi’ [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” yang dia bermaksud menafi’kan/ meniadakan semua anggota cakupannya tanpa terkecuali. Contoh لا حيوان في البيت “Tidak ada hewan dirumah” Dengan “laa naafiah liljinsi”, maka semua jenis hewan apapun tidak ada dirumah. Baik itu kecoa, tikus-tikus dan lain-lain. Berbeda dengan ucapan orang Indonesia, “Masuk saja ke dalam rumah, tidak ada hewan apapun dirumah, tidak usah takut” Maka ini ini menafi’kan/meniadakan yang biasa, tidak menafi’kan semua jenis hewan, yaitu tidak ada sama sekali hewan didalam rumah, ia paham bahwa dirumah ada juga hewan-hewan lain misalnya kecoa, tikus, semut dan sebagainya. Tetapi ia maksudkan adalah hewan-hewan besar yang teranggap seperti anjing atau kucing. Begitu juga dengan perkataan orang Arab, لا شارع مزدحما “Tidak ada jalan yang padat/ramai” huruf [لا] “laa” disini adalah “laa Naafiah” biasa bukan [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”, maka bukan maksudnya menafi’kan seluruh jalan tanpa terkecuali tidak padat atau sepi, Tetapi ada juga jalan lain yang padat/ramai [lihat Mulakhkhas qowaidul lughah Al-Arabiyah hal. 26, Fuad Ni’mah, pembahasan tentang huruf nafi’ yang bisa beramal amalan [ليس] saudara [كان]] Nah, begitu juga kita memahami kalimat syahadat [لا أله ألا الله] bahwa huruf [لا] “laa” disitu adalah [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” Jika kita katakan, “Tidak ada tuhan selain Allah” Ingat, kita pahami dengan makna peniadaan [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” yang artinya menafikan tidak ada sama sekali tuhan kecuali Allah. Padahal, Islam mengakui ada tuhan-tuhan batil lainnya yang disembah selain Allah. Tuhan-tuhan batil tersebut disebutkan dalam Al-Quran -Matahari dan bulan [surat Fushshilat 37] -malaikat [surat Ali Imran 80] -Para Nabi seperti nabi Isa [surat Al-Maidah 116] -orang-orang shalih [surat Al-Isra’ 57] -Batu dan pohon [surat An-Najm19-20] Maksud batil disini adalah mereka menjadikannya tidak sesuai dan bukan pada tempatnya. Bukan para malaikat, Nabi dan orang shalih yang batil. Bahkan diceritakan dalam Al-Quran bahwa mereka semua berlepas diri dari yang menyembah mereka. Maka konsekuensi dari fakta diatas 1. Tidak ada tuhan sama sekali kecuali Allah 2. Ada tuhan-tuhan batil lainnya Maka maknanya jadinya, “Semua tuhan-tuhan batil tersebut adalah Allah” Karena tidak ada tuhan melainkan itu adalah Allah. misalnya ini ada batu yang dianggap sebagai tuhan tetapi batil. Maka batu itu adalah Allah. Tentu makna ini salah besar. Jika masih kurang jelas, kita ambil contoh yang lain. Coba pahami kalimat ini dengan penafian [لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi”, “Tidak ada sandal di masjid A kecuali baru” Maka semua sandal dimasjid A tanpa terkecuali pasti baru. Jika ada yang menemukan sandal di masjid A. Maka sandal tersebut pasti baru. Bukti ketiga Ada khabar yang [محذوف] dibuang/tidak ditampakkan. Dalam ilmu bahasa Arab menyatakan bahwa[لا نافية للجنس] “laa naafiah liljinsi” membutuhkan Isimnya dan khabarnya, dan khabarnya umumnya dibuang tidak dimunculkan dan ini memang kaidah bahasa Arab dan diketahui oleh semua orang yang paham kaidah bahasa Arab. Orang yang mengartikan syahadat dengan “tiada tuhan selain Allah”, mengartikannya kata perkata yaitu, -[لا ]=tiada -[إله]=tuhan -[إلا]=selain -[الله]=Allah Ada kata yang terlewat yang harus diartikan juga, yaitu khabar yang dibuang. Apa khabar yang dibuang tersebut? Jawabannya adalah [حق atau بحق] “haqqun atau bihaqqin”. Maka makna syahadat yang benar adalah, لا معبود حق إلا االه “Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah” Kata [حق atau بحق] “haqqun atau bihaqqin” berdalil dengan firman Allah Ta’ala, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ “Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah sesembahan yang Haq benar, adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang Bathil.” [QS. Luqman 30]. Begitu juga tafsir para ulama, Ibnu Katsir menafsirkan surat Al-Qashash70, At-Thabari menafsirkan surat Al-An’am106, As-Suyuti menafsirkan surat Al-Baqarah 255. Dan banyak ulama yang lainnya. Faidah bagi yang sudah belajar bahasa Arab Mana yang lebih tepat khabar yang dibuang “haqqun” atau “bihaqqin”? Jawab “haqqun” lebih tepat karena jika menggunakan “bihaqqin” dia adalah susunan “jar dan majrur”. Sedangkan “jar dan majrur” umumnya membutuhkan fi’il/kata kerja atau yang beramalan seperti fi’il sebagai “muallaqnya”/tempat bergantungnya. Misalnya. الرجل في البيت Maka,pada في البيت sebenarnya ada fi’il tempat bergantungnya/ “muallaq” yaitu استقر yang memang fi’il ini tidak ditampakkan. Wallahu a’lam [faidah yang kami dapat dari guru kami, Ustadz Aris Munandar, hafidzahullah] Semoga pembahasan ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam. Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid 9 Dzulqo’dah 1432 H, Bertepatan 7 Oktober 2011 Penyusun Raehanul Bahraen Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis. artikel
allah tuhanku allah tuhanku tiada tuhan selain allah